Senin, 30 Oktober 2017

 Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya :
Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia. 
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional. 
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit. 
Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.

Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :

Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.

Dampaknya program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
2.      Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya.
Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950 
Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
3.      Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian kredi tharus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.

Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis.

Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.
4.      Pembentukan Biro Perancang Negara
Biro Perancang Negara dibentuk pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo I dengan tugas merancang pembangunan negara jangka pendek yang diketuai oleh Djuanda. Karena masa kerja kabinet yang terlalu singkat biro ini tidak dapat bekerja maksimal.
5.      Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (mentri perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari program ini adalah 
• Untuk memajukan pengusaha pribumi. 
• Agar para pengusaha pribumi Bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
• Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. 
• Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.

Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina.

Pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, 
Pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf.
Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional 
Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada.

Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.

Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
6.      Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. 

Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah. 

RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :

Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.

Senin, 02 Oktober 2017

Politik Indonesia pada Masa Demokrasi Liberal

Pelaksanaan demokrasi liberal sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu, yakni Undang Undang Dasar Sementara 1950. Kondisi ini bahkan sudah dirintis sejak dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 dan maklumat tanggal 3 November 1945, tetapi kemudian terbukti bahwa demokrasi liberal atau parlementer yang meniru sistem Eropa Barat kurang sesuai diterapkan di Indonesia. Tahun 1950 sampai 1959 merupakan masa berkiprahnya parta-partai politik. Dua partai terkuat pada masa itu (PNI & Masyumi) silih berganti memimpin kabinet. Sering bergantinya kabinet sering menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Ciri-ciri demokrasi liberal adalah sebagai berikut :
1.      Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat
2.      Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah
3.      Presiden bisa dan berhak berhak membubarkan DPR
4.      Perdana Menteri diangkat oleh Presiden
Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951)
Moh. Natsir merupakan perdana menteri pertama di Indonesia pada masa Demokrasi Liberal yang berasal dari Partai Masyumi. Kabinet yang dibentuk oleh beliau merupakan kabinet koalisi Masyumi dengan Partai Indonesia Raya, Parindra, Partai Katolik, Parkindo, dan PSII. Kabinet ini pun sesungguhnya merupakan kabinet yang kuat pormasinya di mana tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.
·         SOSIAL BUDAYA DALAM KABINET NATSIR
Natsir berpikir bahwa pendidikan di Indonesia sangat efetif bila didasarkan pada ajaran islam. Berikut adalah gagasan Natsir terhadap pendidikan dan pengaruhnya bagi Indonesia

a.       Tentang peran dan fungsi pendidikan. Dalam hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir.
Pertama, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna.
Kedua, pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat- sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak al - karimah yang sempurna.
Ketiga, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan manusia yang jujur dan benar ( bukan pribadi yang hipokrit ).
Keempat, pendidikan agar berperan membawa manusia agar dapat mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt.
 Kelima, pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala perilaku atau interaksi vertical maupun horizontalnya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Keenam, pendidikan harus benar- benar mendorong sifat - sifat kesempurnaannya dan bukan sebaliknya, yaitu menghilangkan dan menyesatkan sifat -sifat kemanusiaan.
b.       Tentang tujuan pendidikan Islam.
Menurut Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia yang berperilaku islami, yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang terpatri dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menempatkan beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tujuan sentral.
c.       Tentang dasar pendidikan. Dalam tulisannya yang berjudul Tauhid sebagai Dasar Didikan, M. Natsir menceritakan tentang pentingnya tauhid dengan mengambil contoh pada seorang professor fisika bernama Paul Ehrenfest yang mati bunuh diri. Ia berasal dari keluarga baik -baik dan telah memperoleh pendidikan Barat tingkat tinggi. Telah banyak penemuan -penemuan rahasia alam yang dihasilkannya dan telah menjadi bahan rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan. Pekerjaannya sehari -hari tak pernah tercela. Demikian pula pergaulannya selalu dengan orang yang baik -baiknya, bahkan ia sendiri termasuk orang yang ramah.
d.      Tentang ideologi dan pendekatan dalam pendidikan. Natsir mengajukan konsep pendidikan yang khas ditengah persoalan dikotomis antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Konsep pendidikannya adalah integral, harmonis, dan universal. Dalam pidato yang ia sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934 dengan judul - Ideologi Didikan Islam serta dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat pada 1937 dengan judul Tauhid sebagai dasar Pendidikan, dengan gamblang menggariskan ideologi pendidikan umat Islam dengan bertitik tolak dari dan berorientasi kepada tauhid sebagaimana tersimpul dalam kalimat syahadat.
e.       Tentang fungsi bahasa asing. Menurut Natsir bahwa bahasa asing amat besar perannya dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa. Dalam kaitan ini, Natsir selalu ingat pada ucapan Dr.G. Drewes yang mengatakan bahwa hanya dengan mengetahui salah satu bahasa Eropa, yang terutama sekali bahasa Belanda, masyarakat bumi putra dapat mencapai kemajuan dan kemerdekaan pikiran.
f.       Tentang keteladanan guru. Menurut DR.G.J. Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Natsir, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa tersebut pernyataan ini dikutip oleh Natsir, karena pada saat itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menuru. Berkaitan dengan masalah ini, Natsir menulis artikel dengan kalimat pembuka : Sekarang saya mempropagandakan pendidikan, tetapi nanti saya tidak dapat mendidik anak -anak saya. Pernyataan kalimat tersebut merupakan salah satu alasan yang dikemukakan seorang lulusan HIK yang pernah menjadi pemuka dari organisasi guru -guru di Indonesia. Dari ungkapan itu Natsir memahami mengapa guru tamatan HIK menukar pekerjaannya ( alih profesi ) dari yang semula sebagai guru menjadi pegawai pos.
Kabinet Sukiman (26 April 1951-23 Februari 1952)
Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan beliau berusaha membentuk kabinet koalisi antara PNI dan Masyumi. Namun usahanya itu mengalami kegagalan, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951). Presiden Soekarno kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro (PNI) dan Soekiman Wijosandjojo (Masyumi) sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi dari Masyumi dan PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman (Masyumi)-Soewirjo (PNI) yang dipimpin oleh Soekiman.
Pada masa Kabinet Sukiman bermunculan  berbagai gangguan keamanan, sepertiDI/TII semakin meluas dan Republik Maluku Selatan. Kabinet ini jatuh disebabkan kebijakan politik luar negerinya diangap condong ke Serikat. Pada 15 Januari 1952 diadakan penandatanganan Mutual Security Act (MSA), isi perjanjian Mutual Security Act (MSA) adalah kerjasama antara Menteri Luar Negeri dalam kabinet Sukiman, yaitu Ahmad Subarjo dengan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia kala itu, yaitu Merle Cochran.
Pokok dari MSA berupa Pertukaran Nota Keuangan antara kedua negara. Hasil dari pertukaran nota tersebut pemerintah Amerika Serikat akan memberikan bantuan di bidang ekonomi dan militer. Namun pada saat yang sama dalam perjanjian itu juga tercantum sebuah poin yang membatasi kebebasan politik luar negeri pemerintah Indonesia. Dalam hal ini kebijakan politik luar negeri pemerintahan Indonesia harus memperhatikan kepentingan luar negeri pemerintah Amerika Serikat. Kebijakan Menlu Ahmad Subarjo tersebut, sebagai representasi dari kabinet Sukiman, dianggap tidak sejalan lagi dengan politik luar negeri pemerintah Indonesia "yang bebas aktif", tidak memihak antara Blok Barat dan Blok Timur (Latar politik luar negeri dunia kala itu). Oleh sebab itu kabinet Sukiman ini kemudian dilengserkan oleh DPR.
Dampak Positif Perjanjian MSA
1.      Meningkatnya keamanan negara Indonesia.
2.      Perekonomian negara Indoneisa semakin maju
3.      Terhadangnya paham komunis masuk ke Indonesia
4.      Terjalinnya sebuah kerja sama antara Indonesia dengan AS
Dampak Negatif Perjanjian MSA
1.      Lengsernya Kabinet Sukiman
2.      Tidak maksimalnya pembengunan Indonesia yang telah direncanakan oleh kabinet sukiman
Kabinet Wilopo (30 Maret 1952-2 Juni 1953)
Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjukan Sidik Djojosukarto (PNI) dan Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) menjadi formatur, namun gagal. Kemudian menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.
Pada masa Kabinet Wilopo terjadi peristiwa Tanjung Morawa yang merupakan salah satu peristiwa berdarah yang cukup terkenal di Indonesia.
Peristiwa Tanjung Morawa terjadi pada 16 Maret 1953 di daerah Tanjung Morawa (ssekarang bernama Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara). Peristiwa ini merupakan konflik perebutan lahan seluas 255.000 Hektar yang merupakan perkebunan kelapa sawit, teh dan tembakau milik perusahaan Belanda bernama Deli Palnters Vereniging (DPV) yang dikerjakan oleh Pribumi dan keturunan Tionghoa ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Peristiwa Tanjung Morawa turut menyeret jatuhnya Kabinet Perdana Menteri (PM) Wilopo pada era Demokrasi Liberal (1950-1959).
Permasalahan Tanjung Morawa muncul ketika tanah yang sebelumnya digarap oleh pribumi dan Tionghoa harus dikembalikan kepada DPV atas dasar Konferensi Meja Bundar (KMB). Kesepakatan KMB menghasilkan pengakuan kemerdekaan, namun dengan syarat pengembalian lahan kepada investor asing tak terkecuali Belanda. Luas tanah DPV sebelum meletusnya PD II adalah 255.000 Ha. Tanah seluas 125.000 Ha adalah tanah yang diminta DPV, sedangkan sisanya yaitu 130.000 dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.
Atas kesepakatan tersebut, Kabinet Wilopo mengutus Menteri Dalam Negeri, Mohammad Roem untuk melakukan pengosongan lahan. Pengosongan tersebut ditujukan kepada Gubernur Sumatera, A. Hakim. Perintah tersebut semula akan dituruti oleh masyarakat petani dan keturunan Tionghoa, namun terjadi provokasi oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan organisasi dibawah naungan PKI sehingga yang awalnya bersikap kooperatif menjadi menolak kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut.
Penolakan tersebut akhirnya berujung pada konflik pada tanggal 16 Maret 1953. Pemerintah mengerahkan unit traktor dan mendapatkan perlindungan dari aparat Brigade Mobil (Brimob). Para petani melakukan aksi demonstrasi atas pentraktoran dan bentrokpun tak terhindarkan. Pada insiden tersebut terjadi tragedi penembakan yang menimbulkan 21 korban, dimana 6 diantaranya tewas.
Insiden ini kemudian menjadi perbincangan di Parlemen Indonesia. Bisa dibilang kejadian Tanjung Morawa kemudian menjadikan kesempatan dari partai oposisi di parlemen untuk menjatuhkan Kabinet Wilopo. Tokoh - tokoh PNI mencela pemerintah, kemudian Sidik Kertapati yang merupakan tokoh Sarekat Tani Indonesia (SAKTI) melayangkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Wilopo. Akibat mosi tidak percaya ini, kemudian diadakan tindak lanjut dan diputuskan PM Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953.
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-12 Agustus 1955)
Kabinet Ali merupakan kabinet keempat yang tidak mendapat dukungan Masyumi, namun kabinet Ali ini mendapat dukungan yang cukup banyak dari berbagai partai yang diikutsertakan dalam kabinet, termasuk partai baru NU. Kabinet Ali ini dengan Wakil perdana Menteri Mr. Wongsonegoro (partai Indonesia Raya PIR).
Dalam Kabinet Ali, Masyumi merupakan partai terbesar kedua dalam parlemen tidak turut serta, dalam hal ini NU kemudian mengambil alih sebagai kekuatan politik baru. Maka dari itu, terjadilah koalisi antara PNI dan NU. Mengapa Masyumi tidak ikut serta sehingga menjadi pihak oposisi? Hal ini karena adanya beberapa perbedaan dan arah tujuan di antara kalangan politik pada waktu revolusi.
Perseteruan antara Presiden dan Masyumi terjadi pada saat Kabinet Sukiman. Seperti yang terjadi perbedaan pendapat antara Sukarno yang tidak setuju tentang perdamaian dengan Jepang, dan penerimaan bantuan dari Amerika Serikat. Sebaliknya dengan Sukiman yang akan melakukan pembersihan terhadap PKI. Meskipun begitu Sukarno tetap menahan diri. Kabinet Sukiman menjadi paling terkenal dengan dilakukannya satu-satunya usaha yang serius  pada masa itu untuk menumpas PKI. Kaum PKI menjadi komunis menjadi marah dengan bersedianya PNI bergabung dalam suatu koalisi dengan Masyumi, karena strategi mereka sangat tergantung pada kedua partai itu masih terus bertikai satu sama lain.
Selanjutnya pada kabinet Wilopo perdebatan antara Sukarno dengan Masyumi menyangkut masalah ideologi atau dasar negara Indonesia. Sukarno pernah berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan tanggal 27 Januari 1953. Pada kesempatan itu pula ia berpidato tentang keinginan negara nasional dan bukan negara berdasarkan Islam. Pernyataan Sukarno itu mendapat tanggapan berbagai kalangan, khususnya tokoh-tokoh Masyumi.
Keterlibatan PKI sejauh ini belum terlalu memiliki pengaruh yang besar. Karena saat itu sedang memanasnya hubungan Sukarno dengan Partai Masyumi. Setelah kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden, Kabinet Ali I mulai menjalankan pemerintahan pada tanggal 12 Maret 1953. Pada masa inilah untuk pertama kalinya Masyumi tidak duduk dalam kabinet, sehingga menempatkan Masyumi dalam partai oposisi.
            Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956)
Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi. Prestasi gemilang Kabinet Burhanudin Harahap adalah keberhasilannya menyelenggarakan pemilu pertamam kali pada tahun 1955.
Pendaftaran pemilih dalam Pemilu 1955 mulai dilaksanakan sejak bulan Mei 1954 dan baru selesai pada November. Tercatat ada 43.104.464 warga yang memenuhi syarat masuk bilik suara. Dari jumlah itu, sebanyak 87,65% atau 37.875.299 yang menggunakan hak pilihnya pada saat itu. Tidak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan perorangan ikut serta mencalonkan diri dalam Pemilu yang pertama ini.
Keseluruhan peserta Pemilu pada saat itu mencapai 172 tanda gambar. Pada Pemilu ini, anggota TNI-APRI, juga menggunakan hak pilihnya berdasarkan peraturan yang berlaku ketika itu. Pada pelaksanaan Pemilu pertama, Indonesia dibagi menjadi 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 daerah kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dengan perbandingan setiap 300.000 penduduk diwakili seorang wakil. Pemilu pertama ini diikuti oleh banyak partai politik karena pada saat itu NKRI menganut kabinet multi partai sehingga DPR hasil Pemilu terbagi ke dalam beberapa fraksi. Sesuai dengan tujuannya pemilu 1955 dibagi menjadi 2 tahap yaitu pemilu untuk memilih anggota DPR dan Pemilu untuk memilih anggota konstituante.
Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu DPRD dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957 untuk pemilu Indonesia wilayah Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR, Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus. Meskipun Kabinet Ali Jatuh, pemilu terlaksana sesuai dengan rencana semasa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar 39 Juta rakyat Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemilu saat itu berjalan dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan dari pihak manapun. Oleh karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa pemilu tahun 1955 sebagai pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia sampai sekarang.
Sebelum Pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya Pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan. Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa.  Partai-partai berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.
Penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956-4 Maret 1957)
Ali Sastroamijoyo kembali diserahi mandate untuk membentuk kabinet baru pada tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2, muncul "Gerakan Assaat", suatu gerakan yang diprakarsai Mr. Assaat. Gerakan ini menuntut pembedaan perlakuan dan pemberian fasilitas kepada pengusaha-pengusaha "asli" dan "pribumi". Mr. Assaat yang pada saat itu menjadi anggota parlemen yang dekat dengan Masjumi, mendesak pemerintah agar mengeluarkan peraturan untuk menghentikan keterlibatan orang-orang Tionghoa, baik warga negara Indonesia maupun asing, dari berbagai bidang usaha yang dianggap menguntungkan. Dengan terus terang ia menyatakan kesiapannya untuk menjalankan program-program anti Tionghoa. Menurut pandangannya, orang Tionghoa tidak bisa dipercaya dan tidak boleh dibiarkan menguasai ekonomi Indonesia. Ia juga menyerang orang Tionghoa sebagai golongan yang tidak loyal kepada negara, malahan menyatakan bahwa golongan keturunan Arab berbeda dengan orang Tionghoa dan harus dikatagorikan sebagai "asli".
Gerakan Asaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pada terhadap gerakan ini terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1956 bahwa pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi. Ternyata kebijakan pemerintah ini memunculkan reaksi negatif yaitu muncul golongan yang membenci kalangan Cina. Bahkan reaksi ini sampai menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan masyarakat pribumi.
Kabinet Djuanda/Karya (9 April 1957-5 Juli 1959)
Kabinet Djuanda merupakan kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Kabinet ini dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950 serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik. Kabinet ini dipimpin oleh Ir. Juanda yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno tanpa melalui Formatur. Kabinet djuanda sering disebut kabinet karya karena disusun berdasarkan konsep Zaken Kabinet. Salah satu perstasi Kabinet Djuanda ada;ah menentukan garis kontinental batas wilayah laut Indonesia melalui deklarasi djuanda.
·         Keterkaitan Deklarasi Djuanda Dengan Teritorial Indonesia
Secara geografis, negara Indonesia adalah negara kepualan dengan lautan yang sangat luas dan ribuan pulau besar dan kecil. Pada awal kemerdekaan, kekayaan alam di lautan belum dapat dikuasai secara penuh negara Indonesia. Waktu itu tidak semuanya merupakan laut territorial, melainkan sebagian merupakan laut bebas dan laut internasional. Hal ini dikarenakan Indonesia masih menggunakan peraturan kolonial terkait dengan batas wilayah, Zeenen Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa:
“Laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) dari pada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebeid) dari Indonesia.”
Berdasarkan pasal tersebut, Indonesia jelas merasa dirugikan karena kesatuan wilayah Indonesia tidak utuh, batas 3 mil dari daratan menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia, sebagai suatu negara yang berdaulat Indonesia berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan Republik Indonesia, dan kekayaan alam yang terdapat di luar 3 mil tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan oleh Indonesia. Melihat kondisi inilah kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda mendeklarasikan hukum teritorial kelautan nusantara yang berbunyi:
”Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari pada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari pada Negara Republik Indonesia.  Lalu lintas yang damai di perairan  pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/ menganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”.
Dari deklarasi tersebut dapat kita lihat bahwa faktor keamanan dan pertahanan merupakan aspek penting, bahkan dapat dikatakan merupakan salah satu sendi pokok kebijaksanaan pemerintah mengenai perairan Indonesia. Dikeluarkannya deklarasi ini membawa manfaat bagi Indonesia yaitu mampu menyatukan wilayah-wilayah Indonesia dan sumber daya alam dari laut bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Deklarasi Djuanda dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja.
Deklarasi Djuanda mengandung konsep bahwa tanah  air yang tidak lagi memandang laut sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa, seperti pada masa kolonial, namun harus dipergunakan sebagai alat pemersatu bangsa dan wahana pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan wawasan nusantara. Deklarasi Djuanda membuat batas kontinen laut kita diubah dari 3 mil batas air terendah menjadi 12 mil dari batas  pulau terluar. Kondisi ini membuat wilayah Indonesia semakin menjadi luas dari sebelumnya hanya 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2. Dikeluarkannya Deklarasi Djuanda membuat banyak negara yang keberatan terhadap konsepsi landasan hukum laut Indonesia yang baru. Untuk merundingkan penyelesaian masalah hukum laut ini, pemerintah Indonesia melakukan harmonisasi hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga. Selain itu Indonesia juga melalui konferensi Jeneva pada tahun 1958, berusaha mempertahankan konsepsinya yang tertuang dalam deklarasi Djuanda dan memantapkan Indonesia sebagai  Archipelagic State Principle atau negara kepulauan.
Deklarasi Djuanda ini baru bisa diterima di dunia internasional setelah ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982 (United Nations Convention On The  Law of The Sea/UNCLOS 1982). Pemerintah Indonesia kemudian meratifkasinya dalam UU No.17/ 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Setelah diperjuangkan selama lebih dari dua puluh lima tahun, akhirnya pada 16 November    1994, setelah   diratifkasi oleh 60 negara, hukum laut Indonesia diakui oleh dunia internasional.  Upaya ini tidak lepas dari perjuangan pahlawan diplomasi kita, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang setia mengikuti berbagai konferensi tentang hukum laut yang dilaksanakan PBB dari tahun 1970an hingga tahun 1990an. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, tanggal 13 Desember dicanangkan sebagai hari Nusantara dan ketika masa Presiden Megawati dikeluarkan keputusan Presiden No. 126/2001 tentang hari Nusantara dan tanggal 13 resmi menjadi hari perayaan nasional.
·         Munculnya PRRI/ Permesta
Munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta bermula dari adanya persoalan di dalam Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas minimnya kesejahteraan tentara di Sumatera dan Sulawesi. Hal ini mendorong beberapa tokoh militer untuk menentang Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Persoalan kemudian ternyata malah meluas pada tuntutan otonomi daerah. Ada ketidak adilan yang dirasakan beberapa tokoh militer dan sipil di daerah terhadap pemerintah pusat dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan - dewan daerah sebagai alat pejuang tuntutan pada Desember 1056 dan Februari 1957.
Dewan – dewan ini bahkan kemudian mengambil alih kekuasaan pemerintah daerah diwilayahnya masing – masing. Beberapa tokoh sipil dari pusat pun mendukung meraka bahkan bergabung kedalamnya, seperti Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir. KSAD Abdul Haris Nasution dan PM Juanda sebenarnya berusaha mengatasi krisis ini dengan jalan musyawarah, namun gagal.Ahmad Husein lalu mengultimatum pemerintah pusat, menuntut agar kabinet Djuanda mengundurkan diri dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak oleh pemerintah pusat. Krisis pun akhirnya memuncak pada tanggal 15 Februari 1958 Ahmad Husein memproklamirkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatera Barat. Seluruh dewan perjuangan di Sumatera dianggap mengikuti pemerintah ini. Sebagai perdana menteri PRRI ditunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara.
Bagi Syarifuddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya untuk menyelamatkan negara indonesia, dan bukan memisahkan diri. Apalagi PKI saat itu mulai memiliki pengaruh di pusat. Tokoh – tokoh sipil yang ikut dalam PRRI sebagian memang berasal dari partai Masyumi yang dikenal anti PKI. Berita proklamasi PRRI ternyata disambut dengan antusias oleh para tokoh masyarakat Manado, Sulawesi Utara. Kegagalan musyawarah dengan pemerintah, menjadikan mereka mendukung PRRI, mendeklarasikan Permesra sekaligus memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (kabinet Djuanda).
Pemerintah pusat tanpa ragu – ragu langsung bertindak tegas. Operasi militer dilakukan untuk menindak pemberontak yang diam – diam ternyata didukung oleh Amerika Serikat. AS berkepentingan dengan pemberontakan ini karena kekhawatiran mereka terhadap pemerintah pusat indonesia yang bisa saja dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga pemberontakan PRRI dan Permesta berhasil dipadamkan.
Ø  Upaya Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI dan Permesta adalah :
1.      Dalam mengatasi dewan banteng pemerintah mengirimkan komisi penyelidiki keadaan untuk mengetahui lebih dalam tentang tujuan - tujuan. Akan tetapi penyelidikan ini tidak berhasil karena A. Husein tidak mau berbicara kecuali dengan delegasi resmi pemerintah pusat.
2.      Dalam menanggapi adanya ultimatum kabinet juanda memberikan  tanggapan dengan tindakan tegas yaitu memeacat A. Husein, simbolon, zulkifli lubis. Yang kemudian disusul dengan gerakan  KSAD Nasution pada tanggal 12 februari 1958 dengan  membekukan daerah  komando sumatra tengah.
3.      Dengan diproklamirkan PRRI pada tanggal 15 Februari 1958. Maka KSAD memutuskan adanya operasi meliter yaitu operasi 17 agustus operasi gabungan  AD, AL dan AU yang dipimpin oleh A. Yani.
4.      Dalam menghadapi Permesta pemerintah melakukan pemecatan terhadap Somba dan mayor Runturambi dan dilanjutkan dengan Insaf yang dipimpin oleh letkol jonosewojo. Yang kemudian untuk menangani pengeboman manado, gororontalo, jailolo, dan morotai oleh AUREV operasi Merdeka yang terdiri dari operasi Saptamarga dan operasi Mena. Dengan penguasaan terhadap kota - kota basis PRRI dan Permesta. Hingga pada tahun 1961 perlawanan bereakhir dengan menyerahnya pimpinan PRRI dan Permesta.

Demikian penjelasan mengenai kondisi politik Indonesia pada Masa Demokrasi Liberal.

Minggu, 10 September 2017


Kerajnan Miniatur Vespa Dari kaleng Bekas




            Banyak sekali sampah-sampah dari kaleng bekas minuman maupun makanan yang jika dibiarkan akan berbahaya bagi lingkungan. Sebab itu, saya mencoba memanfaatkannya dengan membuat kerajian tangan berupa miniatur motor vespa dari kaleng bekas tersebut yang nantinya difungsikan sebagai hiasan maupun souvenir. Dengan begitu kita mungkin bisa saja memanfaatkan barang bekas menjadi sesuatu yang mampu memiliki nilai jual. Jadi, begini cara membuatnya.

            A. Alat dan Bahan :
1.Kaleng bekas (disini saya menggunakan kaleng makanan k**** g****)
2.Sabuk bekas
3.Tutup botol
4.Lem tembak
5.Penggaris
6.Spidol
7.Cutter / gunting
8.Korek api gas bekas
9.Korek api batang / kabel (untuk bagian.      setir)
             B. Cara Kerja
1. Pertama siapkan alat dan bahan.
2. Lalu, potonglah kaleng makanan tersebut   lalu bentuklah menjadi lempengan.
3. Kemudian, gambarlah lempengan.      tersebut menggunakan spido sesuail    dengan gambar berikut.


4. Setelah itu potonglah gambar mengikuti    pola menggunakan gunting ataupun cutter.
5. Setelah itu gambarlah pola persegi  panjang pada sabuk bekas dengan ukuran 1  cm× 6 cm (sebanyak 3 buah persegi. Lalu,  rekatkanlah tiga persegi panjang itu  menjadi satu persegi panjang  menggunakan lem tembak
6. Kemudian, rangkailah bagian-bagian
 kaleng yang telah dipotong dan persegi  panjang tadi agar menjadi badan motor  menggunakan lem tembak. Cara  menyusunnya bisa dilihat dari foto  miniatur vespa saya yang telah jadi.
7. Setelah itu, satunkanlah bagian ban,    lampu dan juga setir yaitu, tutup botol, besi  pada korek gas, dan kabel.
8. Proses yang terakhir adalah mengecek  apakah semua sudah dirangkai dengan  benar dan jika anda mau anda bisa  mewarai hasil miniatur anda dengan  sesuka anda. Namun, disini saya memilih  tidak mewarnainya karena sengaja ingin  menunjukkan motif asli dari kaleng  tersebut.
 9. Miniatur vespa dar kaleng bekas sudah    jadi.






Minggu, 30 Juli 2017

DAK (Dana Alokasi Khusus) BOJONEGORO



PENJELASN SINGKAT TENTANG DAK
     Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Pemerintahan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK termasuk Dana Perimbangan, di samping Dana Alokasi Umum (DAU).

     DAK di Bojonegoro sendiri diatur dalam Peraturan Bupati Bojonegoro Nomor 20 Tahun 2017 dalam peraturan di atas terdapat perubahan mengenai DAK yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Bupati Bojonegoro Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Bidang Pendidikan di Kabupaten Bojonegoro.

     Tujuan diberikannya DAK ini adalah untuk meningkatkan kualitas program wajib belajar dan guna lebih mengoptimalkan pelaksanaan pengelolaan Dana Alokasi Khusus Bidang Pendidikan di Kabupaten Bojonegoro.Persyaratan penerimaan DAK Bidang Pendidikan ini meliputi siswa/siswi SMA/SMK/MA Negeri/Swasta secara tertulis kepada Bupati melalui Camat, dan merupakan penduduk Kabupaten Bojonegoro.

BESARAN DAK BIDANG PENDIDIKAN 
a. Rp.2.100.00,00 setiap siswa/siswi kelas X dan kelas XI yang termasuk dalam kategori orang tuanya miskin / Program Keluarga Harapan (PKH)
b. Rp.1.050.000,00 setiap siswa/siswi kelas XII yang masuk dalam kategori orang tuanya miskin / Program Keluarga Harapan (PKH)
c. Rp.2.000.000,00 setiap siswa/siswi kelas X dan kelas XI yang kategori orang tuanya non miskin / mampu
d. Rp.1.000.000,00 setiap siswa/siswi kelas XII yang kategori orang tuanya non miskin / mampu
e. Rp.1.000.000,00 setiap siswa/siswi kelas X dan kelas XI yang kategori orang tuanya Pegawai Negeri Sipil Golongan I dan Golongan II
f. Rp.500.000,00 setiap siswa/siswi kelas XII yang kategori orang tuanya Pegawai Negeri Sipil Gelongan I dan Golongan II
g. Rp.500.000,00 setiap siswa/siswi kelas X dan kelas XI yang kategori orang tuanya Pegawai Negeri Sipil Golongan III dan Golongan IV
h. Rp.250.000,00 setiap siswa/siswi kelas XII yang kategori orang tuanya Pegawai Negeri Sipil Golongan III dan Golongan IV

PROSES PENCAIRAN DAK 
1. Pencairan DAK Bidang Pendidikan dari Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) ditransfer ke rekening Kas Desa dan rekening LSM yang ada di Kelurahan
2. Pemerintah Desa dan LKM menyalurkan dana tersebut kepada siswa/siswi paling lambat 7 hari kerja setelah menerima pencairan dana dari RKUD
3. Siswa/siswi penerima DAK Bidang Pendidikan membuka rekening tabungan pada PD. BPR yang dikoordinir oleh Pemerintah Desa dan LKM yang ada di Kelurahan
4. DAK Bidang Pendidikan ini digunakan siswa/siswi untuk keperluan akademik
5. Pencairan DAK Bidang Pendidikan bagi siswa/siswi kelas X, kelas XI yang menerima bantuan dalam pengambilannya harus mendapatkan rekomendasi dari sekolah
6. Pencairan DAK Bidang Pendidikan bagi siswa/siswi kelas XII yang menerima bantuan secara langsung dibayarkan ke masing-masing sekolah yang bersangkutan untuk keperluan akademik

KEGUNAAN BANTUAN DAK SECARA IDEAL
     DAK Bidang Pendidikan ini diharapkan untuk membantu siswa/siswi dalam memenuhi kebutuhan sekolahnya. Misalnya digunakan untuk membayar SPP, membeli buku sekolah, membeli seragam sekolah, dan lain-lain. Tentunya uang itu dipergunakan semata-mata untuk kepentingan yang menunjang pendidikannya

KEGUNAAN BANTUAN DAK SECARA RIIL
     DAK Bidang Pendidikan ini saya gunakan untuk memenuhi kebutuhan sekolah saya. Seperti membeli buku, membayar SPP, dan lain-lain. Pastinya saya menggunakan ini semata-mata untuk meringankan beban orang tua dalam membiayai kegiatan pendidikan saya.
Saya sangat berterima kasih pada Pemerintah Kabupaten Bojonegoro yang telah menganggarkan dana khusus untuk membantu siswa/siswi di Bojonegoro ini dalam memenuhi kebutuhan sekolahnya, tentunya hal ini sangat bermanfaat dan meringankan biaya yang dibebankan pada orang tua dalam membiayai anaknya untuk bersekolah. Semoga Program DAK Bidang Pendidikan ini bisa diterapkan di kota lainnya sehingga siswa/siswi dapat memperoleh pendidikan dengan mudah dan sebagian biayanya dapat dibantu oleh pemerintah.
Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut